Journal of Jogja Trip – Januari 31, 2013

31 Januari 2012

Perjalanan kami ke Jogja dimulai dengan sesi debat antara Sendika dengan ayahnya. Sang ayah menyarankan Sendika dan aku untuk berangkat ke Stasiun Pasar Senen menggunakan kereta commuter Bekasi – Jakarta. Sedangkan aku dan Sendika, yang tidak yakin akan ada kereta pukul 05.30, lebih memilih pilihan aman menggunakan bus. Seperti perdebatan antara ayah dan anak pada umumnya, sang ayahlah yang menang. Akhirnya aku dan Sendika menuruti saran ayah Sendika. Kami menggunakan kereta menuju Stasiun Pasar Senen yang hanya merogoh kocek sebesar Rp8.500,-.

Setelah sempat tidak tenang di dalam kereta menuju Stasiun Pasar Senen, karena aku takut kami akan terbawa ke stasiun yang salah dan tidak bisa tiba tepat waktu di Stasiun Pasar Senen, akhirnya kami tiba di Stasiun Pasar Senen. Segera kami menemui teman seperjalanan kami yang sudah menunggu kami. Kami berjumlah sebelas orang. Ada aku, Sendika, Adhita, Dwi, Nia, Nuril, Anjar, Bagas, Haditiyo, Yusran, dan Miftah.

Tepat pukul 06.45 kereta kami, tujuan Kutoarjo, berangkat. Ya. Kutoarjo. Bukan Jogja. Awalnya kami ingin menggunakan kereta yang langsung menuju Jogja, namun karena kereta tujuan Jogja sudah penuh, kami memutuskan untuk transit di Kutoarjo terlebih dahulu kemudian lanjut ke Jogja dari sana.

Perjalanan menuju Kutoarjo diawali dengan canda tawa haha hihi di dalam kereta. Kami senang. Kami excited lebih tepatnya. Kami semua duduk dengan manis di kursi penumpang ekonomi seharga Rp28.000,-. Namun kemanisan kami tidak bertahan lama. Beberapa jam kemudian, kami memasuki fase jenuh. Bahan candaan seakan sudah habis terkuras kami tertawakan. Sebagian dari kami mulai beranjak dari kursi masing-masing. Ada yang hanya sekedar meregangkan otot-otot yang tegang, ada yang sengaja memaniskan keasaman mulut dengan rokok, dan ada pula yang hanya berpindah tempat duduk demi melihat pemandangan di luar kereta atau sekedar mencari teman mengobrol yang berbeda.

Jam demi jam pun berlalu. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.00. Ya, benar sekali. Panas tiba dan kami berada di kereta ekenomi. Tidak ada pendingin udara, tidak ada sirkulasi udara yang cukup untuk mengusir rasa gerah yang muncul dari sebelas tubuh anak muda yang sudah mulai bermandikan keringat. Apek. Bahkan aku, seseorang yang paling tidak suka mandi saja sampai-sampai mengucapkan kalimat gue-pengen-mandi. -___-

Jarum pendek di jam tangan Sendika kini menunjuk ke angka dua lebih sedikit, sedangkan jarum panjangnya menunjuk angka dua. Oke.. 14.10 dan kami masih dalam keadaan yang sama dengan keadaan dua jam sebelumnya. Gerah. Berkerigat. Apek.
Semua aktivitas, yang bisa kulakuan, sudah kulakukan agar aku bisa melupakan rasa gerah yang menyerang. Mulai dari membaca, tidur, memperhatikan sekitar, makan, bahkan pergi ke toilet pun kulakukan. Namun tetap saja aku tidak bisa mengusir perasaan tidak nyaman dari bajuku yang sudah basah dengan keringat.

“Kita kapan sampe Kutoarjo?” tanyaku tidak sabar pada Sendika, yang biasa.dipanggil Babeh.

“Sebentar lagi,” katanya, “mungkin lima belas sampai setengah jam lah.”

“Oke!” kataku sambil menenangkan hati yang jika saja hatiku ini mempunyai tangan, mungkin dia sudah mengangkat tangannya ke arah kamera dan melambai-lambai pertanda menyerah.

Lima belas menit berlalu, kami tiba dan berhenti di sebuah stasiun-entah-apa-namanya.

“Oke, berarti lima belas menit lagi sampe di tujuan. Oke, sabar.” Aku berbicara pada diriku sendiri.

Lima menit…
Sepuluh menit…
Lima belas menit…
Tiga puluh menit…
Empat puluh menit..

“Ya ampun, kenapa sih kereta ini ngga jalan-jalan juga?!” gerutuku dalam hati. Tak hanya aku, beberapa temanku yang lain pun mengeluhkan hal sama.

Satu hal yang aku lupa dari kereta ekonomi adalah: kereta ekonomi harus “mengalah” jika akan mengunakan jalur yang sama dengan kereta lain dalam waktu yang bersamaan. -_-
Setelah “mengalah” selama hampir satu jam, akhirnya kereta kami melanjutkan perjalannya menuju Kutoarjo. Sekitar pukul 15.00 lewat, akhirnya kami tiba di Stasiun Kutoarjo.

Solat.
Itulah pikiran pertama yang terlintas di otakku.
Maka dari itu, ketika teman-temanku sibuk memperhatikan jadwal keberangkatan kereta menuju Jogja, aku dan Nuril memilih untuk mencari mushola untuk solat. Segar dan tenang rasanya tubuh dan jiwa ini setelah selesai melaksanakan solat.

Berhubung kereta tujuan Jogja dijadwalkan berangkat pukul 17.55, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Sisa waktu yang ada setelah kami makan siang, aku manfaatkan untuk mengisi ulang batere handphone di salah satu sudut stasiun yang memang sengaja disediakan untuk memenuhi hasrat penumpang-penumpang yang “haus akan sumber listrik” seperti aku ini.

Singkat cerita, akhirnya kereta tujuan Jogja datang dan mengantar kami ke Stasiun Tugu Jogja selama kurang lebih satu jam. Tiket kereta tujuan Jogja yang lebih sering disebut Pramex itu hanya seharga Rp10.000,- saja.
Dari Stasiun Tugu Jogja, kami berjalan ke Jl.Malioboro. Dari sana kami menggunakan TransJogja menuju penginapan kami yang berjarak kurang lebih 6 km. Oke, ternyata 6 km itu cukup jauh saudara-saudara. Aku bersyukur kami tidak jadi nekat berjalan kaki sejauh 6 km -sebelumnya ada yang nekat menyarankan untuk berjalan kaki dari Jl.Malioboro ke penginapan kami. Fiuh. 😀

Belum, saudara-saudara. Kami belum sampai di penginapan.
Dari halte tempat kami turun TransJogja, kami diharuskan berjalan kaki sejauh 1 km untuk bisa sampai di penginapan kami.
-_-

Sesampainya kami di penginapan, hatiku mencelos. Hatiku mencelos bukan karena aku telah berjalan sejauh 1 km, atau karena kondisi penginapan itu tidak seperti yang ku bayangkan, tetapi karena ternyata ada jalan yang lebih singkat untuk ditempuh dari halte tempat kami turun TransJogja ke penginapan kami daripada jarak 1 km yang telah kami tempuh dengan cara berjalan kaki.

Mandi!
Itu satu kata dan satu aktivitas yang sangat ingin aku lakukan pertama kali ketika aku tiba di penginapan.
Penginapan kami ini sangat unik menurutku. Modelnya seperti rumah dengan banyak pintu. Persis seperti kontrakan-kontrakan kecil yang dimiliki oleh Omaku. Isi kamar kami terdiri dari 2 single bed, 2 bunk bed, 1 lemari, beberapa gelas dengan 1 teko di sampingnya, cermin, dan tak ketinggalan, kamar mandi di dalam kamar.
Untuk sebuah penginapan dengan harga Rp42.000,- per malam, per orang kurasa kamar ini cukup memuaskan.

Mandi? Done.
Berkumpul dengan teman-teman? Done.
Makan? Done.
Minum obat? Done.
Mengeluarkan isi otak? Done.
Jam digital di handphoneku menampilkan tulisan 01.21.
Kurasa ini waktunya aku untuk tidur.
Assalammu alaykum. 🙂

Ps: Lanjut ke hari ke-2 trip di Jogja ya!

9 thoughts on “Journal of Jogja Trip – Januari 31, 2013

    • Cokelaaattt… maapin baru bales sekarang.. Pasti kamu udah ngga butuh ya??
      Just incase kamu masih penasaran… Nama penginapannya: Wisma Martha di Jalan Rejowinangun.
      Sekali lagi maapin ya maapinn >,<

  1. Pingback: Journal of Jogja Trip – February 1, 2013 | Berbagi Beki

  2. Pingback: Journal of Jogja Trip, February 2, 2013 | Berbagi Beki

  3. Pingback: Weekend di Jogja – Day 1 | Berbagi Beki

  4. Pingback: Tirai No. 30 -Weekend di Jogja (Day 1) | Berbagi Beki

Leave a comment