Tirai No. 29 – 1 dari 64

Takdir itu lucu ya. Mungkin, kalau kisah hidup seorang manusia benar-benar secara detil dibukukan maka akan ada banyak volume yang masing-masing menceritakan tentang kisah keluarga, kisah pertemanan, kisah pendidikan, kisah percintaan, kisah pekerjaan, dll.

Ngomong-ngomong soal kisah pekerjaan, biasanya setiap anak kecil punya pekerjaan impiannya masing-masing. Dulu aku pengen banget jadi dokter. Sayangnya, ketika kesempatan untuk mengenyam pendidikan kedokteran itu datang, kondisi keluarga sedang tidak memungkinkan aku untuk mengambil kesempatan itu. Jadilah dengan berat hati, kulepas kesempatan itu. Gapapa kok… namanya juga takdir.

Setelah hilang keinginan bekerja sebagai dokter, muncullah ketertarikan dengan profesi lain, yaitu menjadi dosen. Kayaknya hampir semua temen deket aku tau deh kalo aku ini suka mengajar dan pengen jadi dosen. Akupun lanjut sekolah S2 karena alasan itu. Tapi… coba tengok sekarang ini aku jadi apa. Aku jadi pegawai kantoran, which is very funny for me. Wkwkwk.

No, aku tidak menghina pekerjaan pegawai kantoran. Yang menurutku lucu adalah fakta bahwa aku harus ngalamin drama terlebih dahulu (keukeuh kuliah S2 di Bandung, kemudian patah hati di Bandung, ngga mau lagi tinggal di Bandung, dan hilang minat menjadi dosen di Bandung) sebelum akhirnya memantapkan hati jadi pegawai kantoran. Yang mana, kalo aku dibandingin sama teman-teman seumuranku maka itungannya aku ini TELAT BANGET. Ketika teman-temanku sudah di naik level atau jabatan beberapa kali, eh aku malah baru masuk kantor. Apa aku iri sama teman-temanku? Errr… engga juga sih. Mungkin Tuhan tau bahwa aku ini drama queen jadi dituliskanlah garis takdirku muter-muter. Wkwkwk. Looking back, I admit that my looking-for-a-job journey wasn’t that bad because I enjoyed every process.

Proses itu dimulai sejak bulan Desember 2018 lalu ketika aku selesai sidang dan revisi tesis. I was unofficially unemployed at that time. Kenapa unofficially? Karena jika dilihat dari sisi status maka aku masih mahasiswa, tapi jika dilihat dari sisi aktivitas maka aku adalah pengangguran. Pada saat itu, aku masih tertarik untuk menjadi dosen. Sayangnya, bulan Desember bukanlah bulan yang tepat untuk mengajukan lamaran sebagai dosen karena biasanya di bulan tersebut lowongan posisi mengajar sudah terisi dan diatur sedemikian rupa sebagai persiapan semester baru. Jadilah aku memutuskan untuk menunggu kemungkinan lowongan baru di semester selanjutnya pada bulan April 2019.

Nah, sembari menunggu bulan April itulah aku random apply kesana kemari dengan niat untuk latihan tes tertulis dan tes wawancara. I know my weakness and my fear, and I also know that to conquer my fear, I have to face it. Jadilah niat aku saat itu adalah untuk latihan tes tertulis dan wawancara karena aku takut banget sama sesi wawancara (because I mostly failed in this session in the past) dan aku lemah sama tes tertulis paulinya salah satu perusahaan favorit. Pfft.

Aku ingat, 8 Januari 2019 adalah awal aku submit lamaran kerja dan bikin logbook daftar pekerjaan yang aku lamar. Dalam satu waktu itu, tercatat aku masukin lamaran ke 14 lowongan. Mantapkan? Wkwkwk. Seiring berjalannya waktu, aku semakin rajin submit lamaran dan daftar pekerjaan yang aku lamar pun otomatis semakin bertambah. Beberapa lamaran ada yang mengundangku untuk ikut online test, beberapa juga mengundangku technical test, tapi saat itu belum ada yang sampai ke tahap wawancara. It’s either because I didn’t pass the former test or I turned down the interview invitation. Why did I turn down the invitation? Pertama, karena aku tidak benar-benar ingin jadi pegawai. Kedua, karena aku belum siap untuk menghadapi ketakutanku itu. Jadilah tawaran wawancara selalu aku tolak dengan alasan aku masih ada proyek dengan dosenku (not a lie tho, I did have a project with my prof).

Semua berubah ketika di sekitar bulan Februari 2019. Silakan baca postingan aku yang ini dan ini. I was brokenhearted. Dan aku ngga nyangka ya, betapa patah hati itu benar-benar bisa merubah cara pandang seseorang. Ketika aku patah hati itu, aku kehilangan minat untuk tinggal di Bandung karena most of our happy memories (and my sad memory) happened in Bandung. Cupu banget yak? Wkwkwk. Gapapa… namanya juga takdir. Hilangnya minat menetap di Bandung itu otomatis menghapus minat aku mengajar di universitas.  Kenapa begitu? Karena aku selalu membayangkan diri aku mengajar di Bandung, lebih spesifik lagi di Telkom University, almamater S1 tercintaku. Nah, setelah fase patah hati itu barulah aku serius nyari kerja sebagai pegawai kantoran. Tapi emang dasar Tuhan tuh suka bercanda ya… giliran aku serius mau kerja kantoran eh tawaran wawancara malah sepi banget. Ahahahahaha.

Suatu hari, tepatnya tanggal 9 April 2019, ada panggilan masuk tidak terjawab dari nomor tak dikenal ke ponselku. Ketika aku cek di Google, ternyata itu adalah nomor telepon Kominfo. Bau-baunya undangan tes tertulis lagi nih. I didn’t call back as I was sure that if they wanted me to take a written test, they would send me an email regarding the detail. Tapi ternyata… tidak ada email masuk dan aku ngga enak mau nelpon balik lagi. Hilanglah kesempatan kerja di Kominfo. Duh. Dasar Beki! Wkwkwk.

Harap diingat, pada saat itu aku sudah hopeless. Keluarga besar sudah mulai mendoakan supaya aku cepat dapat kerja mengingat pada tanggal 6 April 2019 itu aku udah wisuda dan udah officially pengangguran. Hopeless jobless. Wkwkwk.

Ketika harapan untuk kerja di Kominfo hilang, muncullah harapan baru untuk kerja di Huawei. Kebetulan, Huawei ini lagi bukaan besar-besaran dan ngadain walk-in interview pada tanggal 11-12 April 2019. Datanglah aku di waktu dan tempat walk-in interview yang ditentukan. So far… seleksi masuk perusahaan Huawei ini terlihat memberikan secercah harapan karena aku lulus interview HR, user, dan kepala HR sbg perwakilan pimpinan. Aku hanya butuh kepastian offering.

Kemudian pada tanggal 21 April 2019, aku mendapat email baru… sebuah undangan wawancara dari Kominfo. When I read that, I was like… What the heck? I thought I was automatically rejected for not answering their call! But then, things happened so fast. Tanggal 24 April 2019 aku wawancara di Kominfo. Tanggal 6 Mei 2019 aku first day di Kominfo. Dan sesungguhnya, tulisan ini dibuat secara random karena hari ini untuk pertama kalinya aku lembur. Lembur pulang 18.20. Biasanya teng go. Wkwkwk.

Lucu ya. Akhirnya aku kerja di Kominfo. Sebuah tempat yang katanya kalo ngga kenal orang dalem maka ngga bakalan bisa kerja di sana. Sebuah tempat dimana pertanyaan, “Kamu titipan siapa?” itu umum didengar. Apalah aku ini… Ayahku seorang pensiunan dan Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa. Ingin sekali sesekali kujawab, “Titipan Yang Maha Kuasa!” Tapi males. Nanti jadi jangkrik. Krik krik.

Kominfo. Sebuah tempat yang ngga pernah aku bayangin bakalan jadi tempat kerja aku. The one out of 64 job applications that I submitted. Alhamdulillah.

Dear Kominfo… Semoga langgeng ya sama aku. ❤

Orientasi Pegawai Baru

Find me if you can!

Tirai No. 28 – Dua Setengah Tahun (part 3)

CONGRADUTIONS TO MYSELF!

Tulisan kali ini diketik 71 hari setelah wisuda yang diadakan pada tanggal 6 April 2019. Tulisan ini adalah part 3 tentang momen favorit aku selama dua setengah tahun kuliah di Institut Teknologi Bandung. Untuk ngebaca part 1, silakan klik di sini. Dan untuk ngebaca part 2, silakan klik di sini.

Part 3. Sidang.

Seperti biasa, terdapat empat penguji saat sidang tesis. Apa kabar para pengujiku? Yang A seorang profesor, yang B terkenal killer, yang C suka nanya hal-hal di luar prediksi, dan terakhir yang D dosen bidang lain.

Kalian tau yang namanya pasrah sepasrah-pasrahnya kan? Itu yang terjadi pas sidang tesisku kemarin. Sebelum hari H aku udah pusing gimana caranya ngadepin empat orang itu. Akhirnya aku ulang-ulang lagi baca materi kuliah terkait tesisku dan aku bolak-balik latihan presentasi dan tanya jawab ke beberapa orang yang berbeda.

Hasilnya? Alhamdulillah.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya yang sangat membantuku melalui sidang dengan santai dan tenang adalah saran dari Bu Hepi ketika aku latihan presentasi di depan beliau. Bu Hepi adalah salah satu dosen yang aku kenal sejak aku S1. Bu Hepi ini orangnya sangat baik, tidak pelit ilmu, dan keibuan. Pada waktu itu, Bu Hepi menyarankanku untuk menyederhanakan slide presentasiku dan langsung to the point ke hal yang mau aku tekankan lewat tesisku. Beliau bilang aku terlalu berbelit-belit. 😀

Dan satu hal lagi yang memberiku semangat melalui sidang adalah kehadiran orang tuaku ke LTRGM. Yah… meskipun mereka tidak bisa masuk ke ruang sidang dan hanya bisa menunggu di luar ruangan sampai aku selesai, rasanya senang sekali mendapatkan support seperti itu. Aku jadi ingat, dulu pas sidang tugas akhir S1, adikku datang menonton sidang terbukaku dan rasanya itu lucu, gemes, agak khawatir, tapi senang karena dia datang.

Eh tapi rasa-rasanya… kalau bukan karena ada campur tangan Tuhan, tidak mungkin deh Bu Hepi dan orang tuaku bisa mensupportku seperti itu. Tidak mungkin juga rasanya empat pengujiku bisa sangat melunak dan tidak semenyeramkan itu saat sidang. The ultimate help surely comes from God. Alhamdulillah. Jalan Tuhan memang selalu yang terbaik ya. Semoga aku bisa sabar menjalaninya. Aamiin.

Anyway, janjiku sudah terpenuhi. Terima kasih sudah membaca ya!

IMG20181203161033 e