Writing Challenge no. 12 : Short story
Mendua aku tak mampu mengikat cinta bersama denganmu. Maaf jika kau terluka saat aku memilih dirinya.
Aku sedang khusuk mendengarkan lagu Kahitna yang berjudul Tak Mampu Mendua ketika dia tiba-tiba mencopot earphone dari telingaku.
“Lagu apa yang sedang kamu dengarkan???” tanya dia dengan kasar.
Alisnya ditekuk, matanya membelalak -hampir membuat bola matanya keluar-, dan nafasnya -yang paling tidak bisa aku lupakan- terdengar berat. Sangat berat. Lebih dari cukup aku mengenalnya. Aku tau, dia sedang marah padaku.
Tanpa ba-bi-bu aku tunjukkan padanya judul lagu yang tertera layar telepon cerdasku.
“Kahitna? Tak Mampu Mendua? Untuk apa kamu dengar lagu itu??!” Suaranya meninggi.
Aku hanya bisa menghela nafas pelan. Dia mulai lagi. Lebih dari cukup aku mengenalnya. Aku tau, dia sedang dalam suasana hati yang tidak baik untuk mendengarkan lagu-lagu mellow ala Kahitna. Dia sedang sakit. Baru saja patah hati.
Ku tatap matanya dalam-dalam. Semakin dalam semakin aku mencoba mencari tau seberapa sakit dia sebenarnya. Dia tidak bergeming. Bahkan dia tidak berkedip sedikitpun. Dia seperti sedang menguji kemampuanku dalam mengenalnya. Dia melemparkan pandangan sinis kepadaku kemudian dia menyeringai.
“Gagal lagi, huh?” tanyanya. Kali ini suaranya agak merendah.
Aku hanya tersenyum kecil. Aku benci mengakui bahwa sering kali aku tidak bisa mengikuti irama otaknya yang terlalu cepat berganti nada.
“Seharusnya kamu berhenti mendengarkan lagu-lagu mellow, Gemma! Apalagi lagu Tak Mampu Mendua itu! Lagu itu hanya akan menambahkan luka di hatimu, Gemm,” ujarnya. Agak lama dia memandangiku. Kemudian dia menambahkan, “Aku pun akan semakin sakit jika kamu terus-terusan mendengar lagu itu. Semakin sering kamu mendengarkan lagu itu, maka semakin kamu membuktikan bahwa kamu tidak sepenuhnya meninggalkan dia, dan aku tidak sepenuhnya kamu pilih.”
Tidak sedikitpun aku merespon perkataannya. Dia pun tidak menuntutku untuk mengucapkan sesuatu. Ku rasa, sudah lebih dari cukup dia mengenalku. Dia tau bahwa aku tidak bisa mengatakan perasaanku secara gamblang dan aku tau bahwa dia sama sekali tidak mempermasalahkan “kebisuanku”. Dia tau pasti bahwa aku akan selalu kembali ke pelukannya. Hanya saja, dia tidak pernah bisa tahan dengan lamanya waktu yang kubutuhkan untuk kembali ke pelukannya.
Sedetik kemudian, dia memelukku erat. Sangat erat. Dia benamkan wajahnya di antara rambut dan pundakku. Perasaan hangat mengalir di seluruh tubuhku. Belum puas aku menikmati kehangatan tubuhnya tiba-tiba dia melepaskan pelukannya kemudian mengecup pipi kananku. Kurasakan air matanya menjejak di pipiku.
“Selamat tidur,” ucapnya.
Kemudian dia kembali ke bentuk aslinya. Sebuah cermin.
Tamat.